Beranda » Psikologi Saham » Anchoring Bias : Fokus Pada Nilai Wajar, Bukan Average Buy
Anchoring Bias

Anchoring Bias : Fokus Pada Nilai Wajar, Bukan Average Buy

Kebanyakan investor saham salah fokus. Fokus utama mereka pada average buy (harga modal). Sehingga yang mereka perhatikan adalah berapa besar FP (Floating Profit) atau FL (Floating Loss). Hal ini bisa merugikan anda sendiri akibat anchoring bias dan loss aversion.

Kenapa gitu, dude?

Anchoring Bias

Kenapa ini salah dan dapat merugikan diri sendiri? Karena fokus pada average buy, FP, dan FL berpotensi menjadi cognitive bias, yaitu anchoring bias.

Apa itu anchoring bias?

Anchoring bias atau anchoring effect ini dijelaskan oleh Daniel Kahneman di bukunya yang berjudul Thinking, Fast and Slow. Ada satu bab khusus berjudul “Anchors” membahas hal ini. Jika anda tertarik untuk belajar bermacam-macam cognitive biases, anda bisa baca bukunya, lihat daftar buku investasi saham berikut.

Daniel Kahneman adalah adalah seorang psikolog dan ekonom yang terkenal karena karyanya pada psikologi judgement and decision-making, serta ekonomi perilaku (behavioral economics), di mana ia meraih penghargaan Nobel Memorial Prize 2002 dalam Ilmu Ekonomi atas prestasinya tersebut.

Anchoring bias
Anchoring bias atau anchoring effect. Sumber : Thinking, Fast and Slow oleh Daniel Kahneman.

Silakan baca kutipan buku di atas tentang anchoring effect. Jadi, anchoring bias adalah cognitive bias (bias cognitif) yang menyebabkan kita terlalu bergantung pada informasi pertama yang kita terima tentang suatu topik. Bahkan jika anda baca kutipan buku Kahneman di atas, topiknya bisa berbeda dan tetap dapat mempengaruhi judgement orang akan hal yang lain.

Contoh dari eksperimen Kahneman, sekumpulan orang awalnya memutar wheel of fortune – yang hasilnya sudah dibuat akan selalu 10 atau 65 oleh Kahneman. Lalu orang-orang tersebut diminta untuk menjawab pertanyaan tentang persentase negara-negara Afrika yang menjadi anggota PBB. Hasilnya, walau tidak ada hubungannya, ternyata angka 10 dan 65 yang mereka dapat sebelumnya mempengaruhi jawaban mereka atas pertanyaan tersebut. Angka 10 dan 65 secara tidak sadar mereka jadikan “informasi” yang berguna. Padahal tidak ada hubungan sama sekali. Kahneman menyebut fenomena ini sebagai anchoring effect.

Average Buy, FP, dan FL Menyebabkan Anchoring Bias

Terpaku pada harga average buy, FP, dan FL juga menurut saya bisa membuat kita secara tidak sadar menderita anchoring bias.

Katakan anda membeli saham A pertama kali 5000/lembar. Sahamnya turun menjadi 1500 dan anda berkali-kali melakukan averege down. Katakan average buy anda saat ini adalah 2500. Maka, sadar tidak sadar, fokus anda adalah saat ini posisi FL -50%.

Contoh kedua, anda beli saham B, harga beli rata-rata 500/lembar. Saat ini, harga pasar saham B adalah 1500. Kebanyakan orang akan fokus : posisi saya sekarang adalah FP 200%.

Apa betul, kalian begitu? Kalo ngga, jangan lanjut. Tapi kalo iya, yang kalian lakukan berpotensi menjadi bias dan pada akhirnya bisa melahirkan poor judgement.

“Informasi” ini – posisi FL -50% dan FP 200% – berpotensi membuat anda mengambil keputusan yang tidak tepat.

Anda terpaku pada kedua harga (harga modal dan harga pasar) yang dua-duanya sebetulnya tidak mencerminkan apa-apa tentang emiten tersebut. Fokus pada harga beli dan harga pasar saat ini, serta FP/FL menurut saya termasuk anchoring bias.

Seharusnya yang anda selalu fokus adalah : Berapa nilai intrinsik atau nilai wajar emiten saat ini?

Lebih jauh akan saya jelaskan dengan beberapa contoh kasus. Tapi sebelum itu, kita bahas sedikit tentang loss-aversion atau risk-aversion.

Loss Aversion (Risk Aversion)

Loss aversion
Loss aversion atau risk aversion. Sumber : Thinking, Fast and Slow oleh Daniel Kahneman.

Loss aversion adalah bias kognitif yang menjelaskan mengapa kita merasakan rasa sakit karena kehilangan/kerugian secara psikologis dua kali lebih kuat daripada kesenangan mendapatkan sesuatu.

Pada dasarnya manusia tidak mau rugi/kehilangan. Perilaku tidak mau rugi ini termasuk heuristic behaviour atau perilaku heuristik yang dikenal sebagai risk aversion atau loss aversion, alias ogah rugi.

Sebagai contoh, kalo kita duduk dekat tempat sampah, bau gak enaknya gak ilang-ilang walau udah lama. Sebaliknya, kalo kita cium parfum wangi, semahal apa pun mereknya, gak pake lama wanginya gak lagi kerasa. Yang pake parfum harus pergi dulu dari ruangan dan kembali lagi setelah beberapa lama, baru kita bisa mencium kembali betapa wanginya parfum tersebut.

Hal ini juga menjelaskan mengapa mereka yang suka judi, abis menang ya judi lagi, karena efeknya singkat, harus diulang lagi. Tapi efek rugi/susah/sedih/sakit hati ini lama ilangnya.

Perilaku loss averse adalah naluri kita sebagai bentuk proteksi yang alami untuk dapat bertahan hidup. Itu sebabnya segala hal yang bikin sakit biasanya akan selalu kita ingat. Efek sakit jauh lebih kerasa dan tahan lama ketimbang efek bersuka cita. Perilaku ini secara umum sangat berguna bagi kita, karena kita akan terhindar dari segala hal yang buruk, tidak nyaman, dan menyakitkan. Namun perilaku risk averse juga dapat merugikan kita dalam beberapa hal, misalnya dalam investasi saham.

Contohnya, kalo saham di porto turun, kita takut makin turun akhirnya CL. Dan kalo udah naik, kita juga takut turun, akhirnya kecepetan TP, meski sahamnya masih murah. “Takut turun” ini manusiawi tapi bisa jadi cognitive bias kalo kita gak sadar.

Setelah kita paham apa itu anchoring bias (anchoring effect) dan risk aversion (atau loss aversion), maka sekarang kita coba bahas menggunakan beberapa contoh kasus.

Contoh Pertama

Pada contoh pertama saham A di atas, kalo anda terpaku pada posisi FL -50%, ini bisa bikin galau, dude. Karena kita punya sifat dasar loss aversion alias ogah rugi seperti yang baru saja kita bahas sebelumnya. Secara psikologis, kondisi FL ini akan bikin kita sedih dan galau, gak bisa tidur, sibuk cari pembenaran, ribut di grup saham, sampe yang terparah biasanya berakhir CL (Cut Loss). Semua karena kita terpaku pada informasi FL saat ini.

Coba bandingkan jika fokus anda adalah : nilai wajar saham A. Secara psikologis, beda jauh sekali. Katakan menurut anda nilai wajar saham A adalah 7500. Itu sebabnya, dulu waktu harganya 5000 anda berani beli, karena ada potensi cuan 50%. Nah, saat ini harga pasar 1500 versus harga wajar 7500. Jika fokus anda adalah nilai wajarnya, maka otak anda berpikir berbeda : INI BARANG MURAH BANGET! Pada akhirnya, anda akan terhindar dari kegalauan akibat berpikir FL -50%, malah sebaliknya anda sadar saat ini ada potensi cuan 400% jika beli di harga pasar dan potensi cuan 200% dari harga beli rata-rata anda sekarang.

Coba sekarang, kalo ada posisi FL anda di porto, ganti fokusnya.

Udah coba? Gimana…. ada yang berbeda, gak? 😎 Kalo belum, coba lagi dude, mungkin kurang keras usahanya, batin anda belum teryakinkan. 😜


Suka artikel ini? Masukkan email untuk mendapatkan artikel terbaru via email. NO SPAM.


Contoh Kedua

Contoh kedua, anda beli saham B, harga beli rata-rata 500/lembar. Saat ini, harga pasar saham B adalah 1500.

Kebanyakan orang akan fokus : posisi saya sekarang adalah FP 200%.

Pada kasus posisi FP juga bisa melahirkan poor judgement. Seperti pernah saya singgung di tulisan Strategi Jual Saham, salah satu kesalahan (atau mungkin bukan kesalahan, tapi kekurangan) para investor adalah sering kali menjual saham terlalu cepat.

Dan menurut saya, salah satunya karena kita terpaku pada posisi FP. Lagi-lagi, karena kita punya sifat loss aversion secara natural. Maka ketika kita lihat udah cuan besar, pengen cepat-cepat TP (Take Profit). Kenapa? Karena ada loss aversion, takut turun sahamnya dan kita “rugi”. Tadinya udah cuan 200% di atas kertas, eh turun tajam jadi cuman cuan 150%…. otak kita gak suka ini dan otak kita menganggap ini kerugian.

Nah, coba lagi…. ingat-ingat berapa nilai wajar saham B menurut anda? Jika misalnya nilai instrinsiknya adalah 3000, maka dengan mengganti fokus, otak anda akan berpikir posisi saat ini ada potensi cuan 100% jika beli harga pasar dan potensi cuan 500% dari harga average buy. Maka, judgement yang tepat adalah : HODL. Dengan cara ini, anda terhindar dari bias yang bisa menyebabkan anda menjual saham terlalu cepat. Cara lainnya untuk mengoptimalkan return investasi bisa anda baca di tulisan saya sebelumnya : Strategi Jual Saham.

OK, andai ada posisi FP di porto, coba cek ulang berapa nilai wajarnya. Udah coba? Gimana…. ada yang berbeda, gak? 😎 Kalo belum, coba lagi dude, mungkin kurang keras usahanya, batin anda belum teryakinkan. 😜

Contoh Ketiga

Ada kalanya di tengah jalan kondisi fundamental suatu emiten berubah. Bisa lebih baik atau lebih buruk. Pada contoh ini, katakanlah emiten C memburuk. Misalnya anda beli di harga 3000, harga wajar menurut perhitungan anda 5000. Sahamnya turun sampai ke 500, anda sempat average down sehingga rata-rata harga beli anda sekarang 1200.

Kemudian, ada sesuatu yang terjadi dan mengakibatkan fundamental emiten C memburuk. Anda lakukan riset ulang, cek lagi dengan data dan pengetahuan baru yang anda dapat. Hasilnya, harga wajar C saat ini menurut anda adalah 2000, turun jauh dari 5000.

Maka apa yang anda lakukan? CL atau HODL?

Benar! Seharusnya HODL saja. Ingat, fokus selalu ke nilai wajar, bukan posisi FL/FP. Karena fokusnya ke nilai wajar, maka keputusan yang tepat adalah HODL saham C. Karena nilai wajarnya masih di atas harga pasar dan harga beli anda.

Contoh Keempat Anchoring Bias

Jika sebelumnya, C memburuk, kadang anda beruntung 😎. Emiten D yang sudah anda beli di harga 2000 dan awalnya anda pikir nilai wajarnya adalah 4000, ternyata fundamentalnya membaik. Emiten D berhasil ekspansi dan karenanya menurut perhitungan anda, saat ini nilai intrinsiknya adalah 8000. Sementara harga pasar saat ini adalah 4000.

Jadi posisi anda saat ini adalah berpotensi cuan 300% dari harga modal dan 100% dari harga pasar.

Dengan berpikir seperti itu, maka anda memutuskan Average UP ah… Salah gak? Ngga! Justru benar. Karena masih ada potensi cuan 100% dari harga pasar, walau posisi anda saat ini adalah FP 100%.

Jadi, dengan cara ini, judgement anda menjadi lebih baik. Anda tidak takut untuk average up walau sudah FP 100%.

Kesimpulan

Saran saya, sebaiknya mulai sekarang, jangan terlalu berfokus pada harga average buy, posisi FP atau FL. Cara berpikir seperti ini berpotensi membuat anda bias (anchoring bias dan loss aversion) dan melahirkan poor judgement.

Lebih baik selalu fokus ke nilai wajar emiten dan membandingkannya dengan nilai pasar atau harga modal anda. Dengan ini anda terhindar dari bias dan bisa mengambil keputusan investasi lebih obyektif.


Demikian mas dan mbak dude tentang anchoring bias dan loss aversion. Komen dan masukannya silakan. 😎 Jangan lupa bagikan artikel ini ke teman anda yang membutuhkan.

2 komentar untuk “Anchoring Bias : Fokus Pada Nilai Wajar, Bukan Average Buy”

  1. Hartadi Tanjoyo

    Terimakasih Pak… Yang terjadi di saya sebenarnya mirip contoh kasus ke 3. salahnya saya tidak hold tapi tuker ke TAPG, dimana wkt itu secara harga mos nya mirip2;
    disisi lain, harusnya kalau coal yg bagus spt ITMG, ADRO, PTBA pegang sejak 2021 akan hold ya sampai skr? saya setuju harga wajar nya diatas harga rata rata selama ini.. Apalagi sampai avg up, jadi sama dengan kasus 4.

    saya ambil ANJT sejak 2021, mungkin saya ada salah dan bias buru2 menyimpulkan ANJT harga wajarnya bisa ke 1200-1500 terus saya revisi jadi 750-900.. dan itu sadarnya butuh waktu hampir 1 thn sambil analisa2..

    sampai titik ini saya masih ada ketakutan sebagai pemula akan rentan jatuh kedalam bias ataupun salah analisa.. Apakah benar benar kalau gini saya berusaha minimalisir dengan mos dalam, tarik profit secukupnya dengan tidak buat nilai wajar muluk2, diversifikasi dan money management yang lebih baik.
    Sambil tetap belajar dan memperluas archive mungkin 10 thn lagi bisa lebih pede dan dapat return fantastis?

    1. Thanks komennya, Pak Tanjoyo. Bias dan salah analisis akan selalu ada, Pak. Cara mengurangi bias adalah belajar mengenali macam2 bias dan berusaha berpikir ulang sebelum mengambil keputusan investasi dgn mencoba mengingat bias tersebut sambil tanya ke diri sendiri, “Apakah masih ada yang saya terlewatkan?”

      Soal usaha meminimalisir kesalahan dan bias, yang Pak Tanjoyo tulis rasanya udah mantap. Seperti kata Munger, “The first rule of a happy life is low expectations. If you have unrealistic expectations you’re going to be miserable your whole life.” Hindari metode valuasi yang menghasilkan valuasi “priced for perfection” karena tidak ada lagi ruang untuk kesalahan. Mudah-mudahan hasilnya dalam jangka panjang jadi jauh lebih baik.

Ada komen, dude?

Scroll to Top