Beranda » Emiten » Pengenalan Industri Minyak Kelapa Sawit (CPO)
Pengenalan Industri Minyak Kelapa Sawit (CPO)

Pengenalan Industri Minyak Kelapa Sawit (CPO)

Berikut ini adalah tulisan Hartadi Tanjoyo tentang seluk beluk bisnis dan industri minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil) serta beberapa contoh emiten yang ada di Bursa Efek Indonesia. Buat yang lagi kepo emiten CPO, merapat dude. 😎

Minyak Kelapa Sawit

Minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) adalah bahan baku banyak produk yang kita pakai sehari-hari, mulai dari minyak goreng, bahan bakar kendaraan Biodiesel B35, mentega, sabun, coklat, detergen, kosmetik, dan lain-lain.

CPO adalah minyak nabati. Minyak nabati selain CPO contohnya soy bean oil, rapeseed oil, sunflower oil, dan lain-lain. CPO adalah minyak nabati paling efisien, 1 hektar lahan CPO bisa menghasilkan 4 ton. Sedangkan di bawahnya, 1 hektar lahan rapeseed menghasilkan 0.7 ton minyak, dan yield tanaman lain di bawahnya. Antarminyak nabati bersifat saling menggantikan. Sebab CPO paling efisien, akibatnya harga CPO yang paling murah.

CPO dan Isu Lingkungan

Ada isu lingkungan yang selama ini erat kaitannya dengan produksi minyak kelapa sawit. Isu yang sering menjadi pro dan kontra misalnya deforestasi, pembakaran hutan, perusakan habitat satwa, perlindungan anak, hingga sengketa tanah penduduk. Hal ini menjadi pukulan bagi Indonesia secara umum dan ada beberapa emiten secara khusus.

Pemerintah Indonesia dan pengusaha CPO yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) atau Indonesian Palm Oil Association (IPOA) selama ini bekerja sama agar dapat menjawab seluruh permasalahan tersebut. Salah satu cara mengatasi kekhawatiran akan kerusakan lingkungan misalnya adalah adanya Sertifikasi Industri Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan seperti Indonesia Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Industri Minyak Kelapa Sawit di Indonesia

CPO adalah produk unggulan Indonesia. Minyak kelapa sawit hanya bisa optimal pada negara tropis seperti Indonesia, Malaysia, Kenya, dan Brazil. Indonesia adalah penghasil TERBESAR di dunia dan memproduksi 45 juta ton di mana 15 juta untuk memenuhi kebutuhan nasional dan dan 30 juta untuk ekspor. Ke depannya konsumsi dalam negeri diproyeksikan akan meningkat sebesar 5 juta ton untuk kepentingan biodiesel B35.

Kebijakan Pemerintah di Sektor Minyak Kelapa Sawit

Pemerintah mendukung sekaligus menekan pengusaha CPO dengan berbagai kebijakan. Kebijakan Biodiesel B35 saat ini bertujuan meningkatkan demand dalam negeri, yang ujungnya dapat memperbaiki harga. Pembatasan konsesi hutan untuk CPO juga membatasi supply di mana saat ini cukup membentuk harga CPO global yang favorable. Harga CPO global yang baik secara tidak langsung akan meningkatkan profitabilitas perusahaan.

Kebijakan yang merugikan seperti pengenaan pajak ekspor dan juga DMO (domestic market obligation) yang mungkin terlalu tinggi. Program hilirisasi seperti pembuatan refinery untuk minyak goreng dan biodiesel belum mendapatkan dukungan yang baik misalnya insentif, bahkan biaya investasi untuk hilirisasi tidak ada karena net profit margin turun akibat pajak ekspor dan DMO. Export ban pada Mei 2022 juga merugikan semua perusahaan CPO.

Harga Minyak Kelapa Sawit

Harga CPO dalam negeri dan indeks bursa Malaysia akan terkoneksi walau pun perusahaan tidak ekspor langsung. Contohnya, pemain ekspor besar akan menekan harga CPO karena pada akhirnya pemain ekspor akan bayar pajak ekspor ke pemerintah. Contoh pada 7 Maret harga CPO index setara Rp.13.700 dan harga spot dalam negeri di 12.600. Sehingga profitabilitas ekspor setelah terkena export tax dengan jual dalam negeri hampir sama.

El Nino dan CPO

El Nino bagai pedang bermata dua, karena El Nino akan menurunkan produksi TBS (Tandan Buah Segar), di sisi lain karena supply turun maka harga CPO cenderung naik. Penting untuk mengetahui bagaimana kemampuan Perusahaan untuk memberikan pengairan, bagaimana sistem irigasinya, apakah lokasinya dekat dengan sungai dan bagaimana infrastrukturnya.


Suka artikel ini? Masukkan email untuk mendapatkan artikel terbaru via email. NO SPAM.


Pupuk

Pupuk terbuat dari gas alam sehingga harga pupuk tergantung pada harga gas alam. Pada 2022-2023 COGS Perusahaan sawit tertekan karena pupuk naik 2-3x lipat, sehingga COGS pun naik 40% pada tahun itu. Untungnya tahun akhir 2023 sudah terjadi normalisasi, dan harapanya stabil terus sepanjang 2024.

Emiten CPO

Saat berinvestasi di Perusahaan Minyak Kelapa Sawit, kita perlu mengetahui tipe-tipe perusahaannya.

  1. Apakah punya lahan dan PKS? Contohnya seperti TAPG, DSNG, LSIP, CSRA, NSSS, SGRO. SSMS, dan ANJT.
  2. Apakah fokus ke produk turunan CPO dan refinary (migor, biodiesel, dan lain-lain)? Contohnya seperti SMAR, CBUT CEKA, JARR, TBLA, AALI, dan SIMP.

Ada beberapa Perusahaan yang fokus ke produk turunan CPO, akan tetapi tidak memiliki lahan dan kebun sendiri yang cukup besar untuk mensuplai bahan bakunya, sehingga terpaksa mengambil TBS dari pihak ketiga atau pun mengambil CPO dari pihak ketiga. Perusahaan ini akan kurang diuntungkan saat harga CPO tinggi seperti tahun 2022-2024 ini.

Pembahasan kali ini akan saya fokuskan kepada Perusahaan yang memiliki lahan dan PKS saja. Dan saya sertakan tabel perbandingan peforma 2023 berdasarkan luas lahan, produksi CPO, Net Profit, dan Usia rata-rata tanaman..

Perusahaan Penghasil dan Penjual CPO di IHSG

Bayangkan Anda seorang petani yang memiliki kebun, tentu Anda akan berupaya memanfaatkan luas kebun sebaik mungkin, hingga menghasilkan buah yang banyak dan CPO yang banyak.

Usia rata rata tanaman yang tersaji pada keterbukaan informasi menurut saya bukan variabel yang bisa kita percaya. Karena TBS yield yang baik untuk sawit berada pada 8-20 tahun (prime), dan usia rata-rata tidak menggambarkan produktivitas. Contoh: TAPG, DSNG dan ANJT walaupun memiliki usia rata-rata yang sama, setelah kita amati usia prime TAPG 80%, DSNG 70%, dan ANJT 50% dari total lahan yang mereka miliki.

Selain usia tanaman, produksi CPO juga akan dipengaruhi berapa jumlah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang dimiliki perusahaan. CSRA adalah emiten yang memiliki tanaman lebih banyak daripada yang bisa mereka menggunakan PKS miliknya. Sehingga sisa TBS yang tidak terolah, mereka jual ke pihak ketiga dengan margin lebih rendah. Beruntung CSRA menambah 1 lagi PKS di akhir 2023. Kebalikannya SGRO memiliki kapasitas PKS yang lebih besar daripada buah yang mereka hasilkan di kebun, sehingga Perusahaan terpaksa membeli dari pihak ketiga dan akibatnya margin juga akan menurun.

Tahun 2023 bisa kita anggap sebagai year of new base, harga sawit terkoreksi, harga pupuk juga terkoreksi, first half ada tekanan kinerja, second half pemulihan kinerja sehingga secara umum cocok saya gunakan sebagai true earning emiten. Karena komoditas, ASP (Average Selling Price) akan serupa antaremiten. Berapa pun volume CPO yang dihasilkan tentunya akan menghasilkan laba. Akan tetapi mengapa net profit Perusahaan bervariasi?

Kontrol Beban Pokok

Pertama kontrol beban pokok, bagaimana Perusahaan menghemat pupuk dan air bersamaan dengan meningkatkan volume Tandan Buah Segar (TBS). Perusahaan bisa membuat kompos walau pun tetap saja jumlahnya tidak signifikan terhadap total konsumsi pupuk perusahaan. Emiten perlu membuat Pembangkit Listrik Tenaga Biogas dari bahan limbah PKS untuk berhemat. Perusahaan bisa menghemat depresiasi bangunan, mesin, dan infrastruktur.

Sebagai contoh, ANJT memiliki kebun di Papua, yang secara umum membutuhkan biaya mahal untuk pengembangan. Selain itu Gross Profit ANJT juga tergerus beban dari segmen sagu dan edamame yang masih merugi.

Kontrol Beban Operasional dan Bunga

Kedua, kontrol beban operasional dan bunga. Bagaimana Perusahaan menghemat dari sisi gaji manajemen kunci, jasa konsultasi, mengurangi konflik yang berpotensi sengketa perdata dan beban bunga. Perlu kita ketahui sejak 15 tahun terakhir Perusahaan sawit swasta ekspansi besar-besaran dengan utang bank juga. Profitabilitas DSNG tertinggal dari TAPG salah satunya karena beban utang juga.

PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG)

Contoh selanjutnya adalah Triputra Agro Persada Tbk PT (TAPG). TAPG IPO pada 2021, merupakan anak usaha Triputra Grup, yang didirikan oleh T.P. Rachmat. Beliau adalah salah satu punggawa yang membesarkan Astra dari nol hingga masa keemasannya. T.P. Rachmat juga membidani secara langsung ataupun tidak langsung beberapa perusahaan seperti UNTR, DSNG, DRMA, ADRO, KMTR, dan lain-lain. Beliau terkenal seorang yang visioner, dapat mencium arah uang dari mana, dan juga tidak segan menggunakan leverage untuk mendapatkannya.

Secara konsolidasi TAPG memiliki 23 kebun sawit seluas 160.000 ha dengan jumlah PKS 18 buah. Selain itu TAPG juga memiliki kebun karet yang memproduksi 1.200 ton dengan 3 pabrik Ribbed Smoked Sheet untuk mengolah getah dari kebun tersebut.

Secara konsolidasi kebun TAPG sendiri memproduksi 3 juta ton TBS dan masih membeli 1 juta ton TBS dari pihak ketiga untuk memaksimalkan kapasitas PKS. Kebun TAPG terdiri dari 10% tanaman muda, 82% tanaman prima dan 7% tanaman tua.

Oil Extraction Rate (OER) yang dihasilkan adalah 23.3%, artinya setiap 100 ton TBS yang diperas menghasilkan 23.3 ton CPO. ASP TAPG adalah 12.342/kg.

Selain CPO TAPG juga memproduksi Palm Kernel (PK) sebanyak 210 ribu ton yang diolah menjadi 6500 Palm Kernel Oil (PKO)

Balance Sheet 2021-2023

Hutang berbunga 4T pada 2021 dilunasi bertahap menyisakan 1 T pada akhir 2023. Jumlah ini bukan masalah karena cash yang ada saat ini 1 T.

Capital allocation cukup baik, Total Aset 14 T. Komposisinya, 20% adalah working capital, 60% asset tetap dan 20% adalah Joint Venture (JV). JV ini merupakan Perusahaan CPO bernama Sampoerna Union dan memberikan laba 600 milyar atau BEP 7.5 tahun pada 2023. Harga perolehan tanaman menghasilkan sekitar 65 juta/ ha sedikit lebih mahal daripada peersnya di angka 50 juta/ha.

Inventory turnover tidak boleh lebih dari 30 hari, karena CPO merupakan barang yang bisa busuk dan akan meningkat Free Fatty Acidnya.

Receivable turnover umumnya tidak sampai 30 hari bahkan klien harus DP dahulu. CCC TAPG ada di 42 hari bukan hal yang jelek.

Nature bisnis sawit adalah tanaman yang high capex dan padat fixed asset sehingga Total Aset Turnover (TATO) akan rendah. Hal ini sebaiknya dikompensasi dengan NPM yang tinggi sebaiknya di atas 20%. Perlu kita ingat capex yang emiten keluarkan hari ini untuk penanaman, baru akan terasa buahnya minimal sampai 8 tahun kemudian. Capex yang digunakan untuk membangun PKS dapat segera dinikmati apabila utilisasi PKS tercapai.

Dividen

Dividen yang dibagikan cukup dengan DPR 30%-50% dan telah dibagikan rutin sejak 2021.

Unit Cost dan Valuasi

Hari ini apabila ASP di Rp12.700/kg
Beban pokok Rp.8.000
Gross profit = Rp4.000
Asumsi TAPG menghasilkan 850.000.000 kg CPO
Maka Gross profit = 3.400 Milyar
Operating cost asumsi Rp. 900 Milyar
Maka Operating profit = Rp. 2.500 Milyar
Beban bunga = 100 milyar
Laba sebelum pajak = 2400Milyar
pajak 22%= 530 milyar
laba setelah pajak = 1.9 Trilyun
Market cap sekarang = 11.5T atau BEP 6 tahun.

Asumsi lain yang bisa kita pakai lebih sederhana misalinya harga CPO berkisar di 10 ribuan/kg. Maka kalau siklus di bawah, NPM harapannya masih sisa 10%, dan apabila siklus di atas, NPM bisa naik ke 30%. Dari situ bisa diibaratkan untuk true earning Rp 2000/kg. Kemudian kita kalikan jumlah CPO TAPG sekitar 850.000.000 kg = 1.6 Trilyun.

Sebenarnya valuasi saham ini personal dan banyak unsur gambling jadi saya kembalikan pada pribadi masing-masing, apakah puas atau tidak dengan laba yang dihasilkan.


Demikian pembahasan tentang industri minyak kelapa sawit dan contoh emiten di BEI. Silakan komen, dude! 😎

Ada komen, dude?

Scroll to Top