Artikel ini mengulas tentang perubahan, inovasi dan disrupsi industri. Calvin juga menjelaskan bagaimana sebaiknya kita sebagai investor menyikapinya. Sekaligus membahas sektor “old economy” yang belum lama lalu juga sebenarnya “sektor teknologi.”
Akhir-akhir ini saya lagi banyak berpikir. Sudah begitu lama bumi ini sudah ada. 4,5 miliar tahun lebih umurnya. Tapi mayoritas barang dan jasa yang kita pakai dan tahu sekarang ternyata kebanyakan baru ada belum lama. Kebanyakan baru ada 200 tahunan terakhir.
Inovasi baru di beberapa dekade terakhir yang mayoritas dari kita ingat dan rasakan mungkin adalah yang berhubungan dengan kemajuan teknologi dari segi gadget, internet, chip, cloud computing dan AI (Artificial Intelligence).
Kondratieff Wave
Namun, kalau kita flashback lagi sedikit (dalam perspektif bumi) ke belakang, mungkin ke 100-200 tahun sebelum ini, hampir semua yang kita ketahui sekarang waktu itu masih teknologi baru atau bahkan belum diciptakan. Mulai dari steam engine (mesin uap) di awal 1800an dan terus bergulir seperti yang ada di Kondratieff Cycle (Kondratieff Wave).
Selain inovasi di dalam elektronik/listrik (yang menurut Jeff Bezos banyak persamaan dengan awal mula Internet), banyak juga inovasi lain yang terjadi di periode itu.
Evolution of Supply Chain Management
Dari sektor transportasi, mobil dan pesawat yang mulai kita kenal di awal abad 20. Sedangkan, container shipping di pertengahan abad 20. Tentu, penemuan ketiga inovasi ini berdampak sangat besar terhadap tidak hanya sektor transportasi, namun juga supply chain management, globalisasi dan bahkan kapitalisme seperti yang kita tahu sekarang.
Fast Moving Consumer Goods (FMCG) seperti yang kita tahu, mulai dari packaged food and drink (seperti produk ICBP yaitu Indofood, Indomilk, Chitato, Ichi Ocha) juga baru populer di abad 20. Industri rokok di Indonesia juga berawal di abad 20.
Di Indonesia, convenience store ala Alfamart (AMRT) juga bibitnya ada karena industri rokok lewat kolaborasi Djoko Susanto (pemilik Alfamart) dan Putra Sampoerna (pemilik HM Sampoerna waktu itu) yang baru berkembang jadi minimarket di tahun 90an.
Produk personal dan home care seperti produk UNVR (Lifebuoy, Rinso, Wipol) juga belum terlalu lama adanya.
Konsep shopping mall juga relatif baru, sebuah hal yang pantas, mengingat AC juga baru populer awal abad 20. Di Indonesia, Sarinah baru mulai beroperasi sejak 1966.
Sektor komoditas juga sama. Pabrik kelapa sawit (PKS) pertama di Indonesia beroperasi mulai tahun 1918. Tambang batubara pertama Indonesia kandungannya ditemukan tahun 1863. Oil gold rush global terjadi di abad 19, seperti yang jadi setting di film Paul Thomas Anderson “There Will Be Blood”. Film pertama pun yang full length ada di awal abad 20.
Kecepatan Inovasi Semakin Meningkat
Bukan tidak mungkin, kecepatan inovasi ini akan semakin meningkat.
Siapa yang yakin 100 persen 30 tahun lagi bakal seperti apa? Apakah benar revolusi akan banyak di AI serta hal-hal yang berhubungan dengan autonomous vehicle/self-driving, programmable biology, genomics, atau seperti reusable rockets, dan lain-lain? Atau bakal benar-benar beda jauh?
Di film “Back to the Future Part 2” yang rilis di tahun 1989, mereka menampilkan tahun 2015 dengan banyaknya mobil terbang (flying car), ada hoverboard yang bisa floating di atas air, serta jaket dan sepatu yang bisa secara otomatis mengeringkan dirinya sendiri waktu habis kena basah. Ketiganya bukan merupakan teknologi yang umum digunakan saat ini.
Jadi apakah 2050 bakal ada breakthrough lebih jadi kayak Ready Player One? Atau Severance, Upload, Black Mirror? Atau something else?
“The only constant is change,” kata Heraclitus.
Bagaimana Menyikapi Sebagai Investor
Jadi, apa hubungannya dengan investasi saham?
Menurut saya, semua sektor bisa jadi sektor yang terdisrupsi dengan perubahan dan inovasi, tidak hanya sektor-sektor yang diumbar “sunset” saat ini. Tentu, beberapa sektor bakal lebih resilient terhadap perubahan, tapi tidak ada satu pun yang kebal.
Kalau saya pribadi, untuk mengatasi hal ini, saya suka melihat potensi disrupsi dengan melihat apa yang terjadi di sektor yang serupa di ekonomi yang lebih advanced, seperti di Amerika Serikat, Eropa atau China.
Selain itu, uncertainty ini juga bisa kita akali dengan portfolio management, dalam hal menentukan size di dalam portofolio yang pantas mengingat adanya risiko tersebut.
Kita juga bisa mencari perusahaan dengan DNA perusahaan secara people dan culture yang baik. Saya suka management yang bisa aware dengan hal yang bisa secara perlahan mematikan bisnis mereka, berani untuk disrupsi sendiri, tidak termakan “Innovator’s Dilemma” dan memiliki action plan terhadap hal-hal yang terjadi.
Berikut ini contoh produk pertama beberapa perusahaan besar yang berhasil mengikuti perkembangan jaman. Seperti yang dapat kita lihat, produk/bisnis utama mereka saat ini banyak yang sudah jauh berbeda dari produk perdananya.
Ini juga sesuai dengan gambar di bawah, bahwa yang paling penting di time frame 10+ tahun adalah people dan culture, sedangkan untuk 10 tahun adalah ROIIC (Return on Incremental Invested Capital). Dalam jangka panjang, segmen bisnis bisa berubah-ubah, dan company bisa berevolusi dengan baik asalkan DNA (people dan culture) perusahaannya bagus.
Ada quote bagus dari buku “Competition Demystified” yang saya baca akhir tahun lalu yang mungkin relevan.
“Pertama, agar dapat bertahan, keunggulan kompetitif berdasarkan skala ekonomi harus dipertahankan. Setiap pangsa pasar yang hilang dari pesaing akan mempersempit keunggulan pemimpin dalam hal biaya rata-rata. Sebaliknya, keunggulan kompetitif berdasarkan daya tarik pelanggan atau keunggulan biaya tidak dipengaruhi oleh pasar. berbagi kerugian. Jika skala ekonomi penting, pemimpin harus selalu waspada. Jika pesaing memperkenalkan fitur produk baru yang menarik, pemimpin harus mengadopsinya dengan cepat. Jika pesaing memulai kampanye iklan besar-besaran atau sistem distribusi baru, pemimpin harus untuk menetralisirnya dengan satu atau lain cara.
Pasar khusus yang belum dieksploitasi merupakan undangan terbuka bagi pendatang baru yang ingin mencapai skala operasi minimal yang layak. Petahana tidak bisa mengakui ceruk-ceruk ini. Ketika Internet menjadi fokus utama komputasi personal, Microsoft harus memperkenalkan browsernya sendiri untuk melawan Netscape dan menawarkan alternatif jaringan kepada pemain khusus seperti AOL. Ketika Pepsi-Cola menargetkan supermarket pada tahun 1950an sebagai saluran distribusi alternatif, Coca-Cola terlalu lambat dalam merespons, dan Pepsi mengambil alih pangsa pasar. Industri sepeda motor Amerika tidak menantang perusahaan Jepang seperti Honda ketika mereka mulai menjual sepeda murah pada tahun 1960an. Itu adalah awal dari akhir bagi hampir semua perusahaan Amerika. Harley-Davidson bertahan, meskipun dengan susah payah dan dengan bantuan pemerintah, sebagian karena Jepang mengizinkannya menguasai ceruk sepeda kelas berat. Skala ekonomi perlu dipertahankan dengan kewaspadaan abadi.”
Atau dalam versi Inggris-nya:
“First, in order to persist, competitive advantages based on economies of scale must be defended. Any market share lost to rivals narrows the leader’s edge in average cost. By contrast, competitive advantages based on customer captivity or cost advantages are not affected by market share losses. Where economies of scale are important, the leader must always be on guard. If a rival introduces attractive new product features, the leader must adopt them quickly. If the rival initiates a major advertising campaign or new distribution systems, the leader has to neutralize them one way or another.
Unexploited niche markets are an open invitation to entrants looking to reach a minimally viable scale of operations. The incumbent cannot concede these niches. When the Internet became a major focus of personal computing, Microsoft had to introduce its own browser to counter Netscape and offer network alternatives to niche players like AOL. When Pepsi-Cola targeted supermarkets in the 1950s as an alternative distribution channel, Coca-Cola was too slow to respond, and Pepsi picked up market share. The American motorcycle industry did not challenge Japanese companies like Honda when they began to sell inexpensive cycles in the 1960s. That was the beginning of the end for almost all the American firms. Harley-Davidson survived, though barely and with government help, in part because the Japanese allowed it to control the heavyweight bike niche. Economies of scale need to be defended with eternal vigilance.”
Kesimpulan
Jadi, kita bisa menyikapi kemungkinan perubahan, inovasi dan disrupsi dengan mengatur portfolio sizing, melihat potensi disrupsi dari perusahaan serupa di ekonomi yang lebih maju, serta mencoba mencari perusahaan dengan DNA people dan culture yang baik, sehingga bisa berevolusi bersama dengan zaman.
Demikian sekilas pengenalan tentang perubahan, inovasi dan disrupsi industri. Semoga bermanfaat. Kalo ada koreksi atau tambahan, silakan komentar, dude.
Tentang Penulis
Calvin Kurniawan adalah value, growth and quality investor. Entertainment enthusiast. Co-founder Janso.
Stockbit : @calvinkurniawan
Terbantu dengan artikel ini? Jangan lupa Trakteer, dude 😎