Tulisan kali ini tentang The Raid, John Wick, dan bagaimana wonderful company tidak bergantung pada story. Tulisan tentang wonderful company ini saya curi dari samwan di Stockbit. Tulisan-tulisannya selalu bikin saya terkagum-kagum dan tercerahkan. Sebelumnya, beliau juga yang menulis Tapi Ini Teletubbies, Ayah!. Tapi beliau minta namanya tetap jadi misteri, karena takut banyak fans yang PM minta SP. Kalau anda kepo, pasti taulah Mr J di SB 😍Kita sebut saja, “Mawar.”
Mudah-mudahan anda – sama seperti saya – tercerahkan dengan sangat setelah membacanya.
Tapi sebelum itu, hanya sekedar kasih tau. Blog Axlarry is now featured in Feedspot Top 25 Indonesia Personal Finance Blogs. 😎
Apa itu Feedspot? Feedspot adalah layanan content reader untuk membaca semua situs web favorit di satu tempat. Anda bisa menambahkan blog, media berita online, RSS, dan Youtube, ke akun Feedspot anda dan baca pembaruan baru dari satu tempat. Silakan kalo ada yang mau coba, siapa tahu berguna.
The Raid dan Ketiadaan Plot
Begitu tulis Tom Breihan dari The Ringer pada tahun 2018 saat hendak menjelaskan tentang film The Raid – Redemption (Indonesia, 2011).
Dan memang benar begitu. The Raid lebih mirip kepada sebuah kumpulan video klip aksi yang berlangsung selama 2 jam: plotnya sangat sederhana, storyline-nya juga sama. Namun di balik kesederhanaannya, The Raid mampu menyentak, menggugah, lantas memikat hati semua orang yang menontonnya. Film garapan Gareth Evans yang asli orang Wales itu dieksekusi dengan begitu baik. Sehingga penonton tidak lagi peduli dengan “ketiadaan plot”, terlena oleh koreografi aksi dan tata kamera yang begitu indah dan memanjakan pengalaman audio visual kita.
The Raid dengan segera dikultuskan menjadi klasik.
John Wick
Film ini kemudian menjadi semacam ilham bagi Chad Stahelski untuk membuat “produk” serupa. Dalam artian bahwa sebuah karya yang dieksekusi dan dikerjakan dengan baik, seringkali tidak membutuhkan plot yang “mewah” atau “wah”. Maka, jadilah John Wick yang sukses berat itu.
Anthony Russo, separo-nya The Russo Brothers, ikut mengakui bahwa The Raid adalah insipirasinya dalam mengkreasikan adegan-adegan aksi, terutama duel jalanan antara Steve Rogers dan James “Bucky” Barnes dalam film Captain America: Winter Soldier.
Baik The Raid maupun John Wick adalah contoh bagaimana sebuah karya dengan tema dan cerita sederhana, namun jika kita kerjakan dengan sungguh-sungguh dan sempurna, tetap dapat penghargaan tinggi dari para pemirsa, bahkan dari para kritik, dan menjadi inspirasi bagi sesama profesional dalam berkarya.
Wonderful Company
Pemikiran Evans dan Stahelski ini agak mirip dengan pemikirannya Warren Buffett di dunia investasi. Bagi Buffett (dan juga Munger), sebuah bisnis tidak perlu memiliki “tema” (baca: produk) yang kemilau, atau memiliki story yang mewah. Sepanjang bisnisnya kita eksekusi dengan baik dan benar, maka dengan sendirinya ia akan berharga, menjadi sebuah wonderful company.
Maka dari itu dalam portofolio Berkhsire kita kerap melihat perusahaan-perusahaan yang produk dan story-nya remeh temeh: bahan bangunan, pakaian, barang kelontong, permen, sepatu, atau perlengkapan olahraga. (Baca : Buy Commodities Sell Brands : 4 Kata Kunci Bisnis Sukses)
Seperti juga The Raid dan John Wick, portofolio Berkshire berisi entitas-entitas “remeh” yang dieksekusi secara baik dan benar, nyaris sempurna, oleh “sutradara-sutradara” terpercaya dan kompeten dalam spesialisasi mereka. Hasilnya? Sekumpulan perusahaan remeh temeh dengan performa yang menimbulkan decak dan kagum: WONDERFUL.
Story tidak pernah menjadi bagian penting untuk menghargai sebuah entitas, baik itu seni, mau pun bisnis. Lukisan-lukisan terbaik seringkali adalah lukisan-lukisan yang tidak menceritakan apapun, seperti Monalisa-nya Da Vinci. Lagu-lagu terbaik seringkali bercerita tentang hal-hal yang sangat sederhana, seperti Yesterday dan Hey Jude-nya The Beatles.
Namun dalam sebuah eksekusi yang sempurna, dalam sebuah tata kelola yang paripurna, bisnis (atau seni) dapat menjadi sebuah entitas yang berharga, stabil dan dan lestari, alih-alih fluktuatif dan selalu berada dalam ancaman instabilitas nilai.
Jika kita kembali kepada kutipan Breihan di atas: The Raid, sebuah film tanpa plot, akan tetap dikenang sebagai film aksi paling berpengaruh di dekade 2010-an (bisa jadi sepanjang masa). Sama seperti See’s Candy atau H.H. Brown, perusahaan yang hampir-hampir tanpa story, yang tetap lestari hingga ratusan tahun lamanya, mampu bertahan melampaui berbagai bisnis dengan story luar biasa semacam WeWork, Theranos, Friendster, Enron, atau mungkin kelak: Uber, Meta dan jangan-jangan Tesla (?).
Tak heran Buffett berani hold forever untuk “wonderful companies” semacam ini. Sama seperti kebanyakan pemirsa yang terus menerus kembali untuk menyaksikan ulang The Raid atau John Wick, forever.
Tabik.