Senggol makro sedikit. Membahas singkat suku bunga, hiperinflasi, krisis energi, resesi, dan antisipasinya. Apa yang sebaiknya yang investor saham lakukan? Langsung aja, dude.
Era Suku Bunga dan Inflasi Rendah
Sejak krisis keuangan global 2008-2009, pertumbuhan ekonomi melambat, inflasi rendah, suku bunga rendah bahkan nyaris nol di beberapa negara, dan QE (Quantitative Easing) di mana-mana.
Karena adanya QE, pasar modal banjir likuiditas dan pada akhirnya “memaksa” investor untuk ambil risiko lebih tinggi. Era ini ditandai dengan TINA (There Is No Alternative) dan mengutip Howard Marks,
Para kapitalis misalnya terpaksa masuk ke startup yang masih bakar duit 🔥. Bahkan masuk sebagai investor (shareholder bukan debtholder).
Selain itu, suku bunga nyaris nol juga telah mendorong menaikkan valuasi saham menjadi lebih tinggi (valuation expansion). Saya pernah post ini di sini : Alasan Bursa Saham Bullish, Potensi Bubble, dan Cara Menyikapinya.
Contohnya begini, ketika risk free rate 0.5%, maka saham dengan valuasi PE 50x jadi terlihat murah. Karena, PE 50x itu setara Earning Yield 2%. Earning Yield adalah kebalikan PE (1/50 = 2%). 2% jadi terlihat menarik, karena pembandingnya adalah 0.5%.
Saat Ini : Menuju Era Suku Bunga dan Inflasi Tinggi
Tapi setelah 10 tahun lebih, keadaan mulai berbalik, dipicu cetak uang berjilid-jilid waktu pandemi covid-19 yang menyebabkan terlalu tingginya inflasi. Untuk meredam inflasi, The Fed dan Bank Sentral negara-negara di dunia mulai menaikkan suku bunga. Sekarang interest rates merangkak naik, sudah di angka 3-4% dan masih tren naik.
Selama inflasi (dan harga saham) masih bandel ga mau turun, The Fed bakal naikin terus suku bunga. Atau dengan kata lain, selama semua baik-baik aja, The Fed lanjut terus 🚀
Karena memang inflasi terlalu tinggi itu sangat berbahaya. Target utama The Fed inflasi menuju 2-4%. Untuk mencapai ini, The Fed katakan siap mengorbankan yang lainnya.
Apa yang dikorbankan? Suku bunga tinggi, unemployment rate tinggi, perlambatan ekonomi, saham turun, penyaluran kredit turun, penjualan properti dan KPR turun, dan sebagainya. Pokoknya inflasi 2-4%, selama nothing goes wrong, sikat terus.
Jika sebelumnya Fed rajin cetak uang, sekarang keadaan berbalik. Mereka fokus merampingkan Balance Sheet-nya. (Baca : The Fed’s plan to shrink its balance sheet, quickly)
Krisis Energi
Satu lagi yang jadi masalah saat ini adalah krisis energi, oil price yang sangat tinggi. Tapi seharusnya kalo oil terlalu tinggi, pembelinya yang gak kuat dan pada titik tertentu akhirnya demand turun. Atau pake subsidi, tapi terus-terusan subsidi juga ga mungkin kalo terlalu tinggi, karena APBN bisa bocor. Cetak uang? Ini juga udah terbukti ada harga yg harus dibayar. Bukankah kekacauan yang terjadi sekarang ini salah satu penyebab utamanya adalah karena cetak uang gila2an 2020? Walau memang, dulu harus dilakuin, kalo gak ancur2an. Jadi akan ada batas kenaikan oil.
Suku Bunga The Fed Naik, Kurs Rupiah Melemah
Ada satu lagi imbasnya, khususnya Indonesia akan terpengaruh lumayan signifikan. Kalo gak turun2 inflasi, Powell masih bakal naikin terus interest rate dan ini bakal bikin USD makin kuat. USD pulang kampung, IDR makin ancur. Akhirnya BI nanti juga ikutan naikin suku bunga dan ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Valuasi Saham : Revert to the mean
Kembali tentang valuasi saham yang saya sebut di atas, yaitu tentang Earning Yield. Maka EY 2% jelas jadi sangat tidak menarik jika suku bunga (risk free rate) tinggi. Artinya, jika sebelumnya investor dapet cuan dari valuation expansion, sekarang berpotensi boncos dari terkoreksinya multiples. Karena ada dua alasan harga saham naik : kinerja meningkat dan/atau valuasi naik. Tentu hal ini berlaku sebaliknya.
Suka artikel ini? Masukkan email untuk mendapatkan artikel terbaru via email. NO SPAM.
Where We Are
Coba baca artikel Barron’s berikut ini.
Kutipan dari artikel, “It doesn’t matter who the strongest swimmer is; when the water drains from the pool, everybody goes down together.”
Shopee dan Grab Mulai Kewalahan
Menggunakan DCF (Discounted Cash Flow), suku bunga yang lebih tinggi berarti bahwa arus kas yang jauh di masa depan bernilai lebih rendah ketika didiskontokan kembali ke masa sekarang, dan juga financing akan lebih mahal. Ini bisa berdampak buruk untuk perusahaan-perusahaan yang belum bisa menghasilkan laba dan butuh financing. Seperti kita lihat sekarang, beberapa perusahaan start up dan new econ yang masih bakar duit mulai kewalahan dan ganti fokus dari growth (GMV) menjadi EBITDA dan CFO.
Beberapa Founder perusahaan big tech sudah sadar akan hal ini dan mulai melakukan antisipasi. Contohnya Shopee dan Grab. Misalnya internal memo CEO Sea Limited Forrest Li yang belakangan viral. Berikut potongan memonya :
Our number one objective for the next 12-18 months is achieving self-sufficiency. This means achieving positive cashflow as soon as we can. Right now, thanks to years of prudent action and hard work, we have a solid cash base that puts us in a safer position than many of our counterparts in the tech sector. However, we can easily run through this cash base if we are not careful, and with investors fleeing for ‘safe haven’ investments, we do not anticipate being able to raise funds in the market.
The only way for us to free ourselves from relying on external capital is to become self-sufficient, generating enough cash for all our own needs and projects. If we manage to do this, it will have huge implications for our future. We will have peace of mind, becoming less affected by the external ups and downs that are hurting us today. We will be more strong-footed, and less distracted, able to refocus on our own goals.
This is how I want Sea to emerge from this storm: in a position of certainty and independence, fully able to choose our own path.
Forrest Li Internal Memo
Dan juga Grab yang mulai mengutamakan profit (EBITDA) versus growth.
Pada akhirnya, growth perusahaan-perusahaan tersebut akan tertahan, karena memang selama ini growth tinggi tercapai dengan trade off bakar uang. Dengan mengeringnya likuiditas, valuasi mereka akan tertekan dan pendanaan akan makin sulit, itu sebabnya mereka berusaha agar bisa self-sufficient, tidak selalu mengandalkan dana segar.
Jadi jelas, new econ sekarang mulai fokus cari profit, EBITDA instead of GMV. No more easy money, dude 😎
GOTO dan BUKA kapan nyusul ganti fokus? 🙈
Cari Growth Company Berkualitas
Tapi bukan berartinya seluruh growth company jelek. Masih ada yang bisa kasih cuan. Cari growth company berkualitas tinggi yang memiliki tiga moat berikut ini : Pricing Power, High Gross Margins and Low Capital Intensity.
Emiten dengan Pricing Power akan mampu menjaga harga jual bahkan transfer harga ke pelanggan tanpa menderita penurunan demand.
Gross Margin yang tinggi menjadi bantalan yang tebal bagi emiten, GPM tinggi menandakan pembeli/pengguna menghargai kualitas produk/jasa. Selain itu, GPM tinggi juga berarti porsi COGS relatif lebih rendah terhadap harga jualnya. Artinya, kenaikan material akibat inflasi akan lebih tidak signifikan jika dibandingkan dengan emiten dengan GPM mungil.
Perhatikan perbandingan dua perusahaan dengan margin yang berbeda berikut ini. Perusahaan dengan GPM tebal, dampak inflasi lebih rendah dari perusahaan dengan GPM yang lebih rendah.
Yang terakhir, Low Capital Intensity, emiten tidak haus modal. Ini penting ketika pendanaan mahal, karena emiten masih bisa mencetak laba dan tumbuh tanpa harus mendapatkan suntikan investasi yang tinggi.
Jadi Apa yang Sebaiknya Kita Lakukan?
Look for cash generating stocks. Carilah saham yang mampu mencetak cash. Salah satu cara terbaik untuk mendapatkan return yang baik adalah mulai dari mencari saham dengan valuasi murah, fokus ke earning growth (misalnya cari emiten dengan ROIC yang tinggi) dan dividend yields. Saatnya kita kembali ke value-oriented investing 😎
Jika memang tertarik dengan growth companies, usahakan cari perusahaan yang memiliki tiga moat ini : Pricing Power, High Gross Margins and Low Capital Intensity.
Demikian dude, saran dan komennya silakan.