Berikut ini repost tulisan dude samwan di Stockbit tentang… Teletubbies! Saya suka cara beliau menyajikan pandangannya terhadap fenomena yang terjadi di bursa saham. Semoga sama seperti saya, kalian bisa terhibur dan tercerahkan membaca artikel ini. Enjoy, dude!
Teletubbies
Beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi toko buku langganan di kota tempat saya tinggal. Pada sore itu saya ditemani oleh anak semata wayang, father-son day kiranya.
Seperti kebiasaan yang lalu-lalu, saya dan dia berpisah jalan ketika kami memasuki pintu toko: menuju rak buku yang sesuai dengan selera dan usia kami masing-masing. Saat sedang khusyuk menelusuri rak-rak buku, tangan saya ditarik; si-wayang-semata sudah berdiri di sebelah saya, mengulurkan sebuah buku mungil.
“Ayah, mau buku ini,” begitu katanya.
Itu adalah sebuah buku kecil berjudul “Teletubbies, Benda-Benda Kesayangan”, sebuah pengantar tidur untuk anak-anak usia dini. Saya meraih buku itu dan mengamatinya, sampul depan dan belakang, lalu saya terkesiap.
Harganya 70 ribu rupiah.
Walau pun buku itu sesuai dan tepat bagi si-wayang-semata, bagi saya harganya terlalu mahal, tidak sesuai dengan nilai intrinsiknya: buku itu mungil, jumlah lembar halamannya kurang dari 10, dan mengingat skala produksi yang dimiliki penerbitnya, modal cetaknya saya yakini tidak setinggi itu hingga harus dihargai semahal itu.
Saya tahu bahwa ada banyak buku di toko ini dengan nilai intrinsik dan genre serupa namun dijual dengan harga lebih rendah, bahkan hingga harga di bawah 50 ribu rupiah. Beberapa menyajikan konten yang lebih bernilai dibandingkan buku yang dibawa oleh anak saya, malah.
Tapi Teletubbies, Ayah!
Sontak saya menolak.
“Jangan yang ini, cari yang lain saja,” tukas saya singkat.
“Tapi aku mau yang ini, Ayah,” Ia tak kalah gesit menjawab.
“Ayah tidak suka, cari yang lain saja,” Saya bersikeras.
“Tapi ini Teletubbies, Ayah,” Dia sama berkeras.
“Ayah tahu, tapi buku ini mahal, cari buku lain saja,” Saya mencoba menjelaskan.
“Tapi ini Teletubbies, Ayah,” Dia mengulangi argumennya.
“Iya, tapi mahal.” Kami mulai menjelma kaset rusak.
“Tapi Teletubbies, Ayah!”
Kalimat terakhir itu membuat saya terkejut, bukan karena nada si wayang semata yang meninggi, tapi karena itu kali ketiga ia mengulang argumen yang sama; keteguhan dirinya menyatakan bahwa ia menginginkan buku itu karena itu adalah Teletubbies.
Saat itu juga saya menyadari, anak saya tidak (atau belum) paham soal rasionalitas dan berfikir dengan dasar rasional. Dia tidak memahami nilai intrinsik sebuah buku, tidak mengetahui keterikatannya terhadap nominal yang diterakan atas buku itu, tidak mengerti perbandingan komparatifnya terhadap buku-buku lain dalam genre dan jenis serupa, dan tidak menyadari apa maknanya terhadap proses pengambilan keputusan para dewasa.
Don’t Judge A Book By Its Cover
Dalam maqom proses pengambilan keputusan yang ia huni, yang masih superfisial nan dangkal itu, ia benar-benar secara literal “judging a book by its cover“, yang dalam hal ini adalah Teletubbies, dan kebetulan adalah favoritnya. Itu sudah lebih dari cukup baginya untuk menetapkan bahwa buku inilah yang layak baginya untuk dimiliki.
Tentu dia tidak salah, karena memang baru sampai di sanalah batas kemampuannya dalam memilih, menentukan, dan mengambil keputusan. Penerbit buku itu pun tidak salah dalam menghargai bukunya semahal itu, karena mereka sadar kekuatan merk “Teletubbies” dan apa dampaknya bagi p(m)angsa pasar yang mereka sasar.
Yang sedang berada dalam persimpangan benar/salah adalah saya, yang terjepit dalam pilihan antara akal sehat dan Teletubbies.
Singkat cerita, demi menghindari potensi tantrum anak usia belia di tempat umum (tanpa kehadiran ibunya yang sedang bersantai di rumah, mengenakan masker mentimun sambil menikmati sinetron Korea, saya pasti kewalahan menghadapi amukan monster kecil ini sendirian, di ruang publik pula), saya pun mengibarkan bendera putih dan menyerah pada argumen si-wayang-semata.
Setelah seperlunya memilih buku untuk saya sendiri, kami pun membayar dan pulang.
Suka artikel ini? Masukkan email untuk mendapatkan artikel terbaru via email. NO SPAM.
Implikasi Inner Child Dalam Dunia Saham
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya melayang, menerawang agak jauh tentang implikasi dari “drama mini” yang terjadi barusan. Sebagai orang dewasa, saya bertanya-tanya, seberapa sering saya dan rasionalitas tersandera lalu menyerah oleh tuntutan “inner child” yang bersemayam di dalam diri;
“Tapi ini Apple (atau Armani, atau BMW).”
“Tapi ini buatan Jerman (atau Jepang, atau Perancis).”
Atau…
“Tapi ini dipakai oleh Raisa (atau suaminya, entah siapa namanya).”
Sampai di rumah, saya semakin jauh mengawang. Sebagai pegiat saham, saya bertanya-tanya, seberapa sering saya dan rasionalitas tersandera lalu menyerah oleh tuntutan “inner child” yang masih berdiam di dalam hati;
“Tapi ini bluechip (atau goldchip, atau chip-nya Erik Estrada).”
“Tapi saham ini masuk MSCI (atau LQ45, atau indeks Syariah).”
Atau…
“Tapi saham ini dibeli asing (atau investor terkenal entah siapa).”
Inner Child dan Rasionalitas
Semakin malam, pikiran saya semakin menjelajah, soal kerelaan kita membeli segala sesuatu dengan harga premium tanpa menimbang secara saksama, semata karena “inner child” yang masih bersemayam di dalam diri kita, yang secara repetitif mengulang-ulang argumennya, menilai sesuatu semata dari judul, kemasan, dan bungkusnya, membuat kita “lelah” lalu “menyerah”; memaksa kita menutup rapat-rapat pintu kalkulasi rasional dan pertimbangan logis.
Seberapa sering rasionalitas dikalahkan oleh emosi kekanak-kanakan itu? Seberapa sering kita secara literal “judging a book by its cover“? Dan seperti apa dampaknya setelah keputusan “kekanak-kanakan” itu diambil?
Menjelang tidur, saya menjadi semakin kesal, terutama karena saya kembali teringat ketika dengan gontai menuju kasir, saya tidak sengaja melewati seorang ibu yang sedang terlibat permasalahan serupa dengan apa yang saya alami.
Sambil lalu saya mendengar apa yang ibu itu katakan kepada anaknya;
“Tidak ada Doraemon, kita ke sini untuk membeli buku pelajaran, dan hanya itu yang akan kita beli. Lagipula kamu kan sudah kelas enam, sudah waktunya kamu menjadi dewasa dan mulai belajar merakit PC sendiri, bukannya menambah koleksi Doraemon-mu yang sudah menumpuk sejak kamu balita! Ayo, bergegas, sebentar lagi ayahmu pulang dan ibu masih belum masak apa-apa untuk makan malam.”
Kepada ibu itu, saya menyampaikan salam salut dan rasa iri dari jauh.
Benar bu, tidak seperti saya, anda dan rasionalitas anda telah menang. Anak-anak sedari dini memang sudah harus diarahkan untuk mampu merakit PC mereka sendiri, supaya tidak manja dan menjadi gamer console, atau (amit-amit) gamer smartphone.
Tabik!
Credits
- Samwan yang enggan disebut namanya.
- Image credit : “Ten Years of the Teletubbies” by Ulleskelf is licensed with CC BY-NC-ND 2.0.