Beranda » Investasi Saham » Efek Compounding: Belajar dari Charlie Munger
Charlie Munger Quote tentang efek compounding dan ROIC

Efek Compounding: Belajar dari Charlie Munger

Membaca artikel Korelasi PE Ratio, PBV, ROE, dan Earning Yield, saya jadi teringat terus tentang efek compounding dan kutipan dari Charlie Munger. Saya adalah salah satu dari sekian banyak fans Charlie Munger. 😎

Pada kesempatan kali ini, saya ingin membahas khusus tentang kutipannya berikut ini,

“Over the long term, it’s hard for a stock to earn a much better return than the business which underlies it earns. If the business earns 6% on capital over 40 years and you hold it for that 40 years, you’re not going to make much different than a 6% return — even if you originally buy it at a huge discount. Conversely, if a business earns 18% on capital over 20 or 30 years, even if you pay an expensive looking price, you’ll end up with a fine result.”

Charlie Munger

Charlie Straightens Me Out

Warren Buffett dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa Munger adalah salah seorang yang berperan besar dalam mengubah mindset beliau tentang investasi saham, dari awalnya fokus mencari cigar butt stocks berubah menjadi fokus pada long term sustainable competitive advantage (economic moats) dan mencari wonderful company. Nanti kita akan lihat, salah satu alasannya adalah compounding effect pada perusahaan-perusahaan dengan bisnis wonderful.

Salah satu rekam jejak pengakuan Buffett ada di Berkshire Annual Letter 2014. Jika anda buka halaman 24, ada sub-judul “Charlie Straightens Me Out.”

It took Charlie Munger to break my cigar-butt habits and set the course for building a business that could
combine huge size with satisfactory profits

Warren Buffett

Murah Tapi ROIC Rendah vs Mahal Tapi ROIC Tinggi

Kembali ke topik semula, kutipan Munger. Apa maksud kutipan tersebut? Terjemahan bebasnya seperti berikut ini.

Dalam jangka panjang, sulit untuk memperoleh imbal hasil yang jauh lebih baik dibandingkan bisnis yang mendasarinya. Jika suatu bisnis menghasilkan ROC 6% selama 40 tahun dan Anda memegangnya selama 40 tahun tersebut, Anda tidak akan mendapatkan keuntungan yang jauh berbeda dari 6% — bahkan jika Anda awalnya membelinya dengan diskon besar. Sebaliknya, jika sebuah bisnis menghasilkan ROC 18% selama 20 atau 30 tahun, bahkan jika Anda membayar dengan harga yang mahal, Anda akan mendapatkan hasil yang bagus.

Tiga Poin Penting

Ada tiga poin yang menarik dari kutipan itu.

  1. Pertama, return (imbal hasil) yang kita dapatkan dalam jangka panjang tidak akan jauh lebih baik dari bisnis yang mendasarinya.
  2. Kedua, bahkan jika kita membeli di harga diskon, jika ROIC emiten tersebut adalah 6%, maka 6% juga kisaran potensi return kita.
  3. Ketiga, jika kita membeli saham dengan ROIC tinggi, bahkan di harga yang mahal, menurut Munger, akan tetap mendapatkan hasil yang bagus (seharusnya mendekati underlying juga, misalnya 18%).

Kok bisa begitu? 😳

Apa Itu Efek Compounding?

Sebelum kita lanjut, Munger menyebut return on capital (ROC) ini adalah sama dengan ROIC (Return on Invested Capital). Kita tidak akan membahas detil tentang ini di sini, silakan baca tentang ROIC, ROE, dan ROA di post saya sebelumnya.

Tapi mungkin yang perlu kita paham – bagi yang belum – adalah konsep Compounding Effect atau efek bunga berbunga (bunga majemuk).

Efek compounding adalah efek yang terjadi ketika hasil keuntungan dari suatu investasi dapat diinvestasikan kembali sehingga investasi awal beserta akumulasi keuntungan sebelumnya menghasilkan keuntungan lebih besar di masa depan.

Rumus Efek Compounding

Dalam dunia investasi, biasanya yang kita kenal adalah CAGR (Compound annual growth rate). Rumus CAGR seperti berikut :

CAGR = (Vfinal/Vawal)^1/t – 1

di mana

Vfinal = nilai akhir,

Vawal = nilai awal,

t = periode investasi.

Asumsi yang akan kita gunakan adalah perusahaan dapat melakukan reinvestasi seluruh labanya kembali ke dalam bisnisnya dan tetap bisa mencetak ROIC yang sama besarnya. Sebagai catatan, amat sangat jarang emiten yang bisa melakukan ini, karena ada titik saturasi, TAM (Total Addressable Market) terbatas, dan lain-lain. Tapi kita asumsikan saja ada yang bisa melakukannya selama 20-40 tahun.


Baiklah, kembali lagi ke topik awal.

Dua perusahaan dengan ROIC jauh berbeda – 6% vs 18% – jelas saja potensi returnnya akan jauh berbeda. Apalagi karena efek compounding (bunga majemuk), maka perbedaannya adalah eksponensial.

Tapi bagaimana kalau kita bisa beli murah si ROC rendah tersebut? Seperti telah kita bahas di artikel sebelumnya, kita bisa mendapatkan return (earning yield) yang tetap tinggi walau ROE rendah dengan cara membeli di harga murah (PBV super rendah).

Untuk memahami hal ini, kita bisa buat skenarionya, coba hitung return masing-masing skenario, lalu bandingkan.

Mari kita coba buat simulasinya.

Katakan kita bisa membeli emiten A dengan ROC 6% di harga super murah, misalnya PBV 0.5x. Lalu kita HODL selama 40 tahun. Sementara emiten B dengan 18% hanya bisa kita beli di harga premium, misalnya PBV 2x.

Bagaimana potensi return keduanya?

Efek Compounding ROIC 6% Selama 40 Tahun

Kita mulai dari skenario pertama.

Kita bisa membeli emiten A dengan ROIC 6% di harga super murah, misalnya PBV 0.5x. Lalu kita HODL selama 40 tahun. Kemudian, anggap ada dua kemungkinan : pasar akhirnya mengapresiasi menjadi PBV 1x atau tetap di PBV 0.5x.

Maka potensi returnnya seperti berikut.

Seperti bisa kita lihat di tabel 1, jika nilai wajar saham A tetap di PBV 0.5x maka return kita setara dengan ROIC emiten itu sendiri, yaitu 6%.

Jika ternyata pasar menghargai emiten A nilai wajarnya adalah PBV 1x, maka return kita akan naik, bisa naik 100% saat ekspansi multiples ini terjadi. Tapi pun begitu, jika kita memutuskan untuk terus HODL selama 40 tahun, ternyata returnnya adalah sekitar 7% CAGR.

Jadi sepertinya memang membeli saham ROC rendah, harapan utamanya adalah ekspansi multiples PBV dan tidak bisa berlama-lama. Karena jika terlalu lama, maka yang berpengaruh adalah ROIC bisnisnya. Dalam jangka panjang, potensi return kita akan mendekati ROC emiten. Atau dengan kata lain, cara ini mengutamakan timing the market ketimbang time in the market.

Merujuk ke Tiga Poin Penting di atas, terbukti poin pertama dan kedua adalah benar.


Suka artikel ini? Masukkan email untuk mendapatkan artikel terbaru via email. NO SPAM.


Efek Compounding ROIC 18% Selama 40 Tahun

Bagaimana dengan poin ketiga?

Asumsi ada emiten B yang mampu mencetak ROIC 18% selama 20-30 tahun. Kita membeli di harga premium, katakanlah di PBV 2x.

Sama seperti sebelumnya, kita buat dua skenario, pertama pasar tetap menghargai di PBV 2x atau skenario kedua ternyata pasar menghukum emiten B menjadi PBV 1x. Ini berbeda dengan kasus sebelumnya di mana kita sebaliknya membuat skenario PBV naik 2x lipat, sementara di sini kita diskon separuh untuk nilai akhirnya.

Bagaimana hasilnya? Berikut tabelnya.

Pada kasus 2, sama seperti sebelumnya, jika harga wajar tetap sama seperti saat kita beli sahamnya, maka return kita setara ROIC emiten B, yaitu 18%.

Nilai 18% ini sudah lebih besar dari return emiten A saat ekspansi multiples dua kali lipat. Perhatikan tahun ke-7, pada tabel 1 kasus 1, total G/L adalah 200.73% atau 17.03%, sementara pada tabel 2 kasus 2 adalah 18%.

Namun, jika pasar menghukum emiten B di harga wajar PBV 1x, anda bisa mengalami unrealized loss sebesar 41%!

Tapi ada yang menarik, jika kita terus memegang sahamnya, ternyata lama-lama cuan juga. Malah, jika anda bandingkan dengan emiten A, pada tahun ke-13, return yang anda dapat dari emiten B sudah lebih besar dari emiten A. Return emiten A 326.59% atau 11.81% vs return emiten B 329.97% atau 11.87% CAGR.

Kemudian anda juga bisa amati, bahwa tahun-tahun berikutnya, return emiten B semakin naik menuju ROIC 18% dan emiten A semakin turun menuju 6%, persis seperti omongan Munger, akan menuju ROC bisnis yang mendasarinya.

Contoh Terakhir

Sebagai contoh kasus terakhir, berikut ini andai kita beli di PBV 4x dan sahamnya turun ke PBV 1.

Tabel 3. Efek Compounding Emiten B ROIC 18, harga beli PBV 4x
Tabel 3. Efek Compounding Emiten B ROIC 18, harga beli PBV 4x

Jika pasar mendadak downgrade emiten B menjadi PBV 1, rada ngenes juga ini, dude. 🥲

Tapi andai emiten konsisten cetak ROIC 18%, maka bisa tetap cuan dua digit juga. Kebalikan dengan emiten A, untuk emiten B time in the market lebih penting ketimbang timing the market.

Maka dengan demikian, poin ketiga juga telah terbukti benar.

Oya, menyambung artikel sebelumnya, PER = PBV/ROE. Untuk yang kepo, kok contoh valuasi saham pake PBV semua, ga ada PER? Sebetulnya contoh-contoh di atas bisa diubah ke dalam PER juga, dengan rumus PER = PBV/ROE, ganti saja ROE dengan ROC. Sama saja. Saya sengaja pakai valuasi saham PBV di sini, karena sebagian investor saham melihat PBV nol koma itu adalah saham salah harga.

Kesimpulan

  1. Menurut Munger, kita sebaiknya fokus mencari emiten yang mampu mencetak ROIC tinggi secara konsisten dan bertahan lama.
  2. Wonderful company yang bisa seperti itu amat sangat jarang, maka jika anda yakin sudah menemukannya dan dapat membelinya di harga yang masuk akal, HODL saja dan biarkan manajemen bekerja, kita duduk manis menikmati efek compounding bekerja.
  3. Time in the market vs timing the market, mana lebih sulit?
  4. Seperti telah kita lihat dengan beberapa skenario, bahkan jika kita membeli high ROIC wonderful company tersebut dengan harga agak tinggi, akibat efek compounding yang eksponensial, pada akhirnya akan menghasilkan return yang jauh lebih tinggi ketimbang membeli emiten dengan ROIC culun.

Time is the friend of the wonderful company, the enemy of the mediocre.

Warren Buffett

Demikian pembahasan efek compounding yang terinspirasi dari kutipan Munger. Bagaimana menurut anda, dude? Murah tapi ROIC rendah vs mahal tapi ROIC tinggi. Kamu pilih mana, dude? 😎 Silakan komentar.

6 komentar untuk “Efek Compounding: Belajar dari Charlie Munger”

  1. Mantap om jim. Compounding terus kita. Cari company yang berkembang sekaligus capital kita jg kita tambahin terus yak.. yuks nguli lagi buat nambah modal dan cari emiten

Ada komen, dude?

Scroll to Top